Total Tayangan Halaman

Kamis, 13 Januari 2011

ISLAM KONTEMPORER

Islam sebagai agama bermula dari turunnya wahyu Allah SWT pertama kepada Nabi Muhammad saw. saat berusia 40 tahun. Islam merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran sebelumnya. Oleh sebab itu ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw. dalam menyebarkan Islam tidak terlepas dari kondisi historis Arab saat itu.
Setelah Nabi Muhammad wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh para sahabat nabi yaitu Khulafaur Rasyidin. Wahyu yang sudah diterima Nabi Muhammad dan hadist-hadist memiliki peran penting dalam masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Setelah itu muncul beberapa kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman. Kemaharajaan Mughal, India dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang besar di dunia.
Islam mulai dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk singgah selama beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad kemudian. Beberapa tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa antara lain: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) yang di kenal sebagai Walisongo. Saat itu di Indonesia terdapat banyak kerajaan Hindu-Budha, tetapi setelah Islam masuk ke Indonesia muncullah kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Demak, dan Gowa-Talo.
Agama Islam diajarkan secara intensif dan konsisten oleh para tokoh dan umat yang telah menerima ajaran agama Islam, sehingga agama Islam terus berlanjut sampai sekarang.
Sejak awal agama Islam diturunkan hingga saat ini, rentang waktu yang dilalui terlampau panjang serta jarak antara Arab dan Indonesia sangat jauh. Hal ini menyebabkan banyaknya perbedaan faham dan pemikiran umat Islam yang cenderung menimbulkan perselisihan dan perpecahan umat Islam. Begitu pula yang terjadi di Indonesia saat ini yang notabenenya ialah negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Namun, kuantitas tidak selaras dengan kualitas. Umat Islam di Indonesia semakin tidak fokus dalam menjalankan syariat agama, tetapi lebih mementingkan perdebatan terhadap pemahaman Islam dalam segala aspek kehidupan.

Pemikiran umat islam terutama di Indonesia saat ini terlihat sangat beragam. Beragam sekaligus menimbulkan berbagai perbedaan pemahaman dalam praktik keagamaan, baik dari sisi ibadah ataupun kemasyarakatan. Tetapi sesungguhnya, pola pemikiran yang ada saat ini hanya terklasifikasi ke dalam tiga. Menurut Alyasa Abubakar, Guru Besar IAIN Ar Raniry Aceh, dalam makalahnya menyebut pemikiran Islam saat ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu Salafiyah, Mazhabiyah dan Tajdidiyah. Ketiga hal ini sesungguhnya merupakan pembagian pemikiran, bukan pembagian golongan-golongan.

A.Salafiyah
Salaf berasal dari bahasa Arab (salafa yaslufu salafan), artinya adalah telah lalu. Adapun menurut istilah salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para sahabat. Dalam hadits, Muhammad SAW berkata tentang salaf, “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut tabi’in).” Jadi dapat dikatakan bahwa secara umum salaf menunjuk kepada tiga generasi pemeluk Islam pertama, yaitu:

• Generasi pertama adalah Sahabat Nabi Muhammad saw. Yang bertemu atau melihat kehidupan Nabi dan menyatakan keimanan serta meninggal dalam keimanan tersebut.

• Generasi kedua adalah Tabi’in. Yang pernah bertemu atau melihat sahabat dan menyatakan keimanan, kemudian mati dalam keimanan tersebut.

• Generasi ketiga adalah Taba at-tabi’in yang pernah bertemu atau melihat tabi'in kemudian menyatakan keimanan dan mati dalam keimanan tersebut.
Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun). Salaf pada saat ini berarti 'manhaj' atau cara beragama atau cara menjalankan ajaran agama islam. Jadi 'manhaj salaf' berarti menjalankan ajaran agama islam berdasarkan kepada bagaimana para sahabat rasulullah (golongan salaf) menjalankan ajaran agama Islam. Sebab merekalah generasi yang langsung bertemu dengan rasul dan menyaksikan langsung peristiwa turunnya firman-firman Allah dan mendapat didikan langsung dari sang nabi.

Golongan ini menganggap mereka adalah golongan yang menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan RasulNya, tanpa adanya tambahan dan pengurangan sedikitpun. Golongan mengambil dalil Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 69 dan Surat Al-Fatihah ayat 6. Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Shiratal Mustaqim itu memiliki empat penafsiran: (1) al-haq (kebenaran), (2) agama islam, (3) Al-Qur’an, dan (4) Abu Bakar dan Umar. Beliau mengatakan orang yang mengikuti Nabi Muhammad dan jejak dua khalifah setelah Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar dan Umar, maka ia telah mengikuti kebenaran, dan siapa yang telah mengikuti kebenaran berarti ia telah mengikuti Islam. Selain itu, para Salafy juga beranggapan bahwa jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.
Saat ini orang-orang yang mengikuti golongan salaf juga bisa dikatakan yang dijamin keabsahan dan keotentikan aqidah serta akhlaknya. Kaum Salafy menafsirkan ayat Al-Qur’an secara tekstual tanpa melakukan pembahasan mendalam. Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan.

Tokoh-tokoh yang menganut manhaj salaf antara lain :

a. Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Ibnu Taimiyah)
Ibnu Taimiyah lahir di Palestina, 10 Rabiul Awal 661 H. Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in, dan Tabi'ut tabi'in adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.
Dalam ucapan-ucapannya dan tulisan-tulisannya Ibnu Taimiyah memperbaharui pengajian ulama-ulama yang dulu, mengembalikan mereka pada kitab Allah dan Sunnah Rasul. Dikatakannya pula, bahwa ia memerangi khurafat dan bid’ah yang dikerjakan oleh ulama-ulama dan kaum muslimin yang dulu-dulu.

b. Sheikh-ul-Islam Imam Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (Abdul Wahhab)
Abdul Wahhab lahir 1703 di Uyaynah. Beliau adalah seorang Sunni terkemuka sarjana muslim yang menulis banyak buku terhadap politeisme atau syirik. Beliau adalah penggagas gerakan wahhabi.
Gerakan Wahhabi bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam berdasarkan petunjuk Allah SWT, nabi Muhammad SAW sebagai utusan serta berdasarkan pemahaman para salafush shalih, yakni orang-orang terdahulu yang shaleh dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam. Gerakan Wahhabi dikenal dengan paradigma yang menganggap kebenaran mereka absolut, tidak bersedia menerima kebenaran lain, dan cenderung mengajarkan islam yang keArab-Araban dengan mengabaikan muatan tradisional dari agama Islam. Gerakan ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Ahmad Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Dalam menyebarkan gerakannya, Muhammad bin Wahhab menyebarkan gerakan jihad kepada kaum muslimin untuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan menghancurkan segala bentuk praktek keagamaan yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni dan jernih.

c. Hasan Al Banna
Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin).

Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928. Ikhwanul Muslimin merupakan salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur anggota tubuh, perilaku dan politik.

d. Muhammad Nashiruddin bin Nuh An Najaty Al Albany
Al-Albani lahir di kota Shkoder, Albania, tahun 1914. beliau wafat pada 2 Oktober 1999 pada usia 86 tahun. Al-Albani awalnya dianggap berasal dari Madzhab Hanafi tetapi kemudian menjadi Salafi setelah ia menyatakan dalam beberapa bukunya.

e. Asy Syaikh Al Muhaddits Abu Usamah Salim bin Ied Al Hilaly As Salafy Al Atsary
Beliau adalah salah seorang murid terpercaya Imam Al Muhaddits Al Allamah Muhammad Nashiruddin bin Nuh An Najaty Al Albany. Beliau dilahirkan pada tahun 1957 di Al Khalil, Palestina. Beliau sekarang berdomisili di Amman, Yordania bersama murid-murid Imam Albany lainnya membentuk Markaz Imam Albany.

f. Ja'far bin Umar Thalib
Ja'far bin Umar Thalib adalah seorang tokoh salafi di Indonesia, keturunan Arab-Madura, lahir di Malang pada tanggal 29 Desember 1961. Ja’far adalah pendiri Laskar Jihad. Pada 1987 Ja'far bergabung dengan Mujahidin di Afghanistan yang saat itu sedang berperang dengan Uni Soviet. Selama dua tahun ia berjuang sekaligus belajar bersama Asy Syaikh Jamilurrahman Al Afghani As Salafy di Provinsi Kunar, dekat perbatasan Pakistan. Kemudian pada Januari 1990, Ja'far menyatakan bahwa ia sepenuhnya telah beralih kepada mahzab Salafiyah dan menanggalkan pemahaman lamanya yang ia anggap menyimpang.

B. Mazhabiyah
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya.
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian dari ulama terdahulu, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman. Sesungguhnya, pemikiran ulama mazhab, juga mengacu kepada salafush shalih, namun para pengikut mazhab ulama tidak memiliki kemampuan atau tidak memiliki ilmu yang mendalam tentang agama, dan dalam ijtihad Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sehingga mereka memilih salah satu mazhab dan lebih condong mengikuti ulamanya yang dijadikan sebagai patokan dalam beragama. Adapun orang seperti ini disebut “taqlid” terhadap mazhab ulama. Meskipun mengikuti salah satu mazhab ulama, terkadang ada saja masyarakat yang memahami suatu permasalahan berbeda dengan faham ulama. Karena sesungguhnya, pedoman dalam agama Islam tetaplah kembali pada Al-Qur’an dan Hadits.

Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Ahlus-Sunnah wal Jama'ah pada awal mula perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in yang dikenal memiliki aliran masing-masing. Sampai kemudian mazhab yang paling banyak diikuti saat ini ada empat, yaitu:

1. Hanafi
Mazhab Hanafi digagas oleh Imam Abu Hanifah. Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan). Mazhab Hanafi sebagaimana ditetapkan oleh penggagasnya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/logika dalam mengupas masalah fiqih. Mazhab ini menggunakan banyak formula atau mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar'i.

2. Maliki
Mazhab Maliki Digagas oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tata cara hidup penduduk Madinah secara keseluruhan sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup, dan meninggal di sana; dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
Mazhab ini adalah ke balikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.

3. Syafi'i
Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i dengan penganut sekitar 25% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar terutama di Indonesia, Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
Salah satu karangan Imam Syafi’i adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra'yi (Al-Hanafiyah) dan fiqh ahli hadits (Al-Malikiyah). Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah.

4. Hambali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi. Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwa sahahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqihnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.

Organisasi yang tergolong dalam pemikiran mazhabiyah, antara lain:

1. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Berdiri pada 13 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. NU menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dan ekstrim naqli (skipturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.

2. Nahdlatul Wathan
Organisasi Nahdlatul Wathan didirikan oleh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Beliau mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1 Maret 1953 di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Nahdlatul Wathan menganut Ahlussunah Wal Jama’ah dalam bidang fiqih yang digali dari Al-Qur’an dan hadits oleh para Imam Mujahid, yaitu para ulama yang sudah memenuhi persyaratan untuk berijtihad, yakni mengambil hukum Islam langsung dari Al-Qur’an dan hadits. Dalam bidang fiqih ini, Nahdlatul Wathan menganut mazhab Syafi’i.

C. Tajdidiyah
Tajdid menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan. Kata "Tajdid" diambil dari bahasa Arab yang berkata dasar "Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan" yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid'ah, Takhayyul dan Khurafat.

Golongan tajdid memiliki model pemikiran yang bersifat modernis. Selain itu, golongan tajdid hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang Barat sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Menurut golongan tajdid keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.

Gerakan pembaharuan Islam oleh golongan tajdid diilhami dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Pemikiran Al-Afghani yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa organisasi di Indonesia seperti Sarikat Islam, Muhammadiyyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Gerakan ini kemudian mengalami pertentangan dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul Ulama. Meski gerakan tajdid kini sudah mulai melemah, namun semangatnya kini konsisten hingga muncullah Jaringan Islam Liberal yang memiliki visi Tajdid.

1. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam konstitusinya, Muhammadiyah menegaskan bahwa ia merupakan gerakan Islam dalam bidang dakwah amar makruf nahi munkar, berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan sunah. Oleh karena itu, tujuan utama gerakan ini ialah memurnikan doktrin Islam di Indonesia dari berbagai pengaruh budaya lokal, mereformulasi doktrin Islam sesuai dengan kemajuan pemikiran modern, memperbarui pendidikan Islam dan membela Islam dari berbagai serangan dan ancaman pihak luar. Disamping membela Islam, Muhammadiyah juga berusaha untuk dapat menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan ridho dari Allah SWT.

2. Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam atau Persis resmi didirikan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas kegamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam. Persis mempunyai ciri khas tersendiri yaitu kegiatannya dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan. Lahirnya Persis sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berpikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan rusaknya moral.
Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

3. Jaringan Islam Liberal
Jaringan Islam liberal (JIL) adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim di ISAI (Institut Studi Arus Informasi) yang sudah berjejaring sebelumnya. Islam liberal ini telah digagas oleh Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Abdur Rahman Wahid, dan mendiang Ahmad Wahid.

Latar belakang berdirinya JIL, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan islam militan. Lahirnya JIL merupakan reaksi atas bangkitnya apa yang mereka namakan ekstrimisme, fundamentalisme, radikalisme, dan revivalisme yaitu kelompok umat islam yang anti barat dan masih memegang teguh ajaran dakwah dan jihad.

Landasan penafsiran JIL adalah membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, memihak pada yang minoritas dan tertindas, meyakini kebebasan beragama, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

D. Perbedaan Pemikiran Praktik Beragama
Berdasarkan karakteristik masing-masing ketiga model pemikiran Islam yang telah dibahas sebelumnya, pastinya akan ada perbedaan penarikan dalil dan pemikiran terkait dengan praktik beragama. Hal-hal yang dapat memicu perbedaan pemikiran serta perselisihan berasal dari aspek kepribadian, praktik ibadah, dan kehidupan sosial (muamalah). Beberapa contoh permasalahan dari ketiga aspek tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

1. Pembacaan do’a qunut saat solat subuh
Permasalahan ini sangat menimbulkan perbedaan penerapan ibadah, terutama pada saat solat subuh. Ketiga pola pemiikiran kontemporer memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini.

a. Salafiyah
Golongan Salafiyah berpendapat tentang hukum qunut solat subuh, tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus. Selain itu, qunut subuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana hadits Ibnu 'Umar , “Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137.
Bahkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".

Golongan Salafiyah juga berpendapat bahwa sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya.

b. Mazhabiyah
Di dalam madzab syafii sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua adalah sunnah ab’ad. Sunnah Ab’ad artinya diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bagi yang lupa mengerjakannya disunnahkan menambalnya dengan sujud syahwi.
Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut, “Dalam madzab syafei disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak”. Kemudian dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata, “Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Dalam mahzab Hanafi, disunatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sebelum ruku. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunatkan. Sedangkan qunut Nazilah disunatkan tetapi pada shalat jahriyah saja. Diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari Abi Hurairah beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir". Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah masih disunnahkan. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi Muhammad SAW dengan qunut nazilah.

Dalam mahzab Maliki, disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku, tetapi boleh juga dilakukan setelah ruku. Adapun qunut selain subuh yakni qunut witir dan nazilah, keduanya dimakruhkan.
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits yang artinya, "Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia". Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafriq 2/255 dan masih banyak kitab lainnya yang mengeluarkan hadits tersebut.

Dalam mahzab Hambali, disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku. Adapun qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan qunut nazilah disunatkan dan dilakukan diwaktu subuh saja.
Hal ini didasari oleh Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i yang artinya, "Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, dan banyak terdapat dalam kitab lainnyya.

c. Tajdidiyah
Dalam pemikiran tajdidiyah, khusus untuk permasalahan qunut saat sholat shubuh, lebih menarik kesimpulan dengan menelaah hadits-hadits terkait qunut yang shahih dan meninggalkan hadits dhaif. Sebagai salah satu contoh pendapat pemikiran tajdid, yaitu organisasi muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat tentang qunut.
Majelis Tarjih Muhammadiyah memilih untuk tidak melakukan doa qunut karena melihat hadis-hadis tentang qunut Subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. Di samping itu terdapat hadist yang menguatkan tidak adanya qunut Subuh. Dalam riwayat beberapa imam disebutkan sebagai berikut: Artinya: “Khatib meriwayatkan dari jalan Qais bin Rabi’ dari Ashim bin Sulaiman, kami berkata kepada Anas: Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu tidak putus-putus berqunut di (shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah berdusta, karena beliau tidak qunut melainkan satu bulan, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum musyrikin.”

Begitu pula doa qunut witir yang dibaca sesudah i’tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir di malam shalat witir baik dalam bulan Ramadan maupun dipertengahannya, tidak disyariatkan. Karena itu tidak perlu untuk diamalkan. Dalil-dalil yang menyatakan adanya doa qunut seperti riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa’i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif.
Adapun yang ada tuntutannya itu ialah qunut nazilah yakni dilakukan setiap shalat selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan dan tidak hanya dikhususkan untuk shalat tertentu saja. Dan ini berdasarkan hadis Nabi saw bahwa beliau pernah melakukannnya selama sebulan kemudian meninggalkannya setelah turun peringatan Allah SWT. Artinya: “Berkata al-Bukhari: Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi’, dari Umar, katanya: Pernah Rasulullah saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan ayat 127 surah Ali Imran: Laisa laka minal-amri syaiun (tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”

2. Penentuan awal dan akhir Bulan Ramadhan
Permasalahan lainnya yang sering menimbilkan perbedaan di Indonesia secara rutin ialah metode penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan.

a. Salafiyah
Penentuan awal dan akhir Bulan Ramadhan menurut salafiyah, lebih mengharuskan menggunakan metode rukyat. Sebab para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya digunakan salah satu dari dua cara yaitu rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat.
Bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan rukyat hilal ramadhan atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak terlihat. Demikian pula penentuan idul fitri, dengan rukyat hilal syawal atau menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.
Semua ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.”
Selain itu, dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi berjaga-jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” Hadits riwayat Abu Daud.

b. Mazhabiyah
Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama mazhab terkait masalah rukyat. Pendapat pertama yaitu wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.

Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat tertentu.
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.
Kemudian para ulama tersebut berpendapat bahwa yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada negeri-negeri yang semathla’ dengannya.

c. Tajdidiyah
Pendapat golongan tajdid dalam penentuan tanggal hijriah sangat berbeda. Salah satu contah yang diambil ialah dari Organisasi Muhammadiyah kembali. Cara yang digunakan ialah dengan perhitungan/hisab. Jadi rukyatul hilal dianggap tidaklah menjadi satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.
Penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutraf ibn Syuhair seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid juz I halaman 196. Dalam kitab itu disebutkan: “Bila hilal sulit diobservasi maka yang dipegangi ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran Bulan dan Matahari. Landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus ayat 5. Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) ...”

Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan me¬tode yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergu¬nakan. Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada per¬hitungan yang akurat itu sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya sudah meyakinkan.

Sistem dan metode hisab yang dipergunakan didasarkan pada kitab Hisab Urfi dan Haqiqy yang disu¬sun oleh K.H. KRT Wardan Diponingrat dan dikembangkan de¬ngan sistem dan metode Newcomb, Brauwn, Jean Meus dan teori-¬teori astronorni modern yang lain. Metode yang dikembangkan oleh Ulug Beik as-Samarkandi itu bersumber pada Ptolomeus yang menyusun kitab Tabril Majesti. Kitab itu sudah ditinggalkan orang karena masih menganut teori geosentris. Sekarang orang sudah memegangi heliosentris.
Hasil hisab yang dijadikan pegangan pada saat hilal sulit diobservir adalah sah berdasarkan firman Allah dalam surat Yunus ayat 5 di atas dan sabda Nabi saw riwayat al-Bukhari, Muslim, an-¬Nasai dan Ibnu Majah, artinya: “Bila bulan itu terhalang untuk dirukyat kadarkan¬lah.”
Maksud ucapan Imam Syafi’i ialah siapa saja yang berhari raya lebih dahulu supaya bersalat Idul Fitri secara diam-diam, tidak dilaksanakan secara frontal. Ucapan ini merupakan kebijakan Imam Syafi’i sebagai imam dari para pengikutnya. Tetapi Muhammadiyah berpegang pada kaidah yang telah ditetapkan dalam Muktamar dan sudah berjalan bertahun-tahun. Jadi tidak ada keharusan merubah kaedahnya selama belum diadakan perubahan.

3. Perayaan maulid Nabi Muhammad
a. Salafiyah
Pendapat para pemikir salafiyah mengenai perayaan maulid Nabi Muhammad SAW mengambil dari beberapa pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam menyikapi perayaan tersebut.
Pendapat pertama ialah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal (Idul Abror), ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”
Kemudian Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikir, ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya. Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikutinya. Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah”.
Selain itu, seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali yang lebih terkenal dengan sebutan Al Fakihaniy mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama. Tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa dikatakan terlarang atau haram.”
Pemikiran Salafiyah menganggap perayaan maulid Nabi Muhammad SAW tidak ada dalil yang memerintahkan, dan kegiatan ini merupakan bid’ah sehingga tidak perlu dilakukan, bahkan dianggap haram.

b. Mazhabiyah
Golongan mazhabiyah menilai perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sangat berbeda dengan salafiyah. Menurut golongan mazhabiyah, Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelaksanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Menurut mazhabiyah, pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena menurut Dr Alawy bin Shihab dalam Intabih Dinuka fi Khotir, takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri.

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat. Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana. Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dalam Fathul Bari 3, beliau mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.
Selain itu, di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Ulama mazhab berpendapat bahwa sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian As-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sahabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib
Para ulama dengan pola berpikir mazhabiyah, menyimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil.

c. Tajdidiyah
Dalam hal ini, contoh pemikiran tajdidiyah kembali diambil dari Tim Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada prinsipnya, Tim Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi SAW, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya. Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi SAW tersebut, yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar kemaslahatan.
Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbutan bid'ah dan mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad SAW secara berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya. Nabi Muhammad SAW sendiri telah menyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: “Diriwayatkan dari Umar, ia berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.”, Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Adapun yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini, adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus mengandung manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan taqwa serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.


Kesimpulan
Perkembangan pemikiran Islam hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola yaitu Salafiyah, Mazhabiyah dan Tajdidiyah. Salafiyah adalah golongan yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan RasulNya, tanpa adanya tambahan dan pengurangan sedikitpun, serta mengacu pada tiga generasi awal perkembangan Islam. Di sisi lain, Mazhabiyah menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman. Namun karena ketidakmampuan orang-orang muslim berijtihad, sehingga imam mazhab yang ada dijadikan acuan dalam menjalankan syariat Islam, terutama dalam masalah fiqih dan muamalah. Sedangkan pola pemikiran Tajdidiyah lebih banyak mengedepankan pola pikir rasional dengan pemahaman baru yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman. Namun tetap mengkaji Al-Quran dan Hadtrs secara kritis.
Ketiga pola tersebut memiliki dasar pemikiran dan karakteristik yang berbeda. Sehingga perbedaan faham dan pemikiran umat Islam ini cenderung menimbulkan segmentasi golongan. Padahal dari tiga pola pemikiran di atas, tidak menutup kemungkinan untuk ketiganya dipadukan dalam satu golongan, untuk mendapat pemahaman yang lebih mencapai kemaslahatan.


DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. 2010. Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru
en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nasiruddin_al-Albani
id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna
id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah
id.wikipedia.org/wiki/Ja'far_Umar_Thalib
Khalimi. Ormas-ormas Islam. 2010. Jakarta: Gaung Persada Press
rumaysho.com/hukum-islam/umum/2903-hukum-celana-di-bawah-mata-kaki.html
wahonot.files.wordpress.com/.../biografi-singkat-syaikh-salim-bin-ied-al- hilaly.pdf
www.an-nashihah.com
www.islamlib.com
www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg05299.html
www.muhammadiyah.or.id/Berita-Persyarikatan-Muhammadiyah/fiqih-muhammadiyah-belum-memiliki-pola.html
www.muhammadiyah.or.id/fatwa-majelis-tarjih-muhammadiyah.html
www.nahdlatulwathan.org
www.nu.or.id/page.php
Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Mulia dengan Manhaj Salaf. 2009. Bogor: Pustaka At-Taqwa.

0 komentar:

Posting Komentar

Tanda Tangan