Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Februari 2011

WAKAF


PENDAHULUAN

Studi Wakaf: Perspektif Keadilan Sosial
Berbagai lembaga sejenis wakaf, tidak diragukan, telah eksis di berbagai penjuru dunia. Lembaga-lembaga tersebut pada umumnya dibentuk oleh individu dan organisasi yang memiliki sumber  daya dan mendedikasikannya untuk tujuan-tujuan yang spesifik. Para pemanfaatnya adalah anggota keluarga, orang-orang miskin dan tidak mampu, institusi keagamaan, usaha-usaha kebudayaan, jasa dan layanan kesehatan, dan sebagainya. Lembaga filantropi ini merupakan usaha kemanusiaan yang telah muncul sebelum Islam lahir pada fajar abad ke-7 M. Sepanjang sejarah Islam, salah satu hal yang menonjol dari wakaf adalah peranannya yang signifikan dalam upaya membiayai berbagai pendidikan Islam. Tidak diragukan, pembangunan dan penyediaan berbagai sarana pendidikan di dunia Islam, seperti di Mekkah dan Madinah, dibiayai dengan dana wakaf.
            Tidak terkecuali di tanah air, wakaf sebagai filantropi Islam disinyalir telah lahir sejak Islam mulai disebarluaskan disekitar abad ke-8-9 M. praktiknya diduga mulai ada ketika Islam menjadi kekuatan sosial dan politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam pada senja abad ke-12 M. karenanya, dapat dikatakan sudah sejak lama masyarakat Islam telah mempraktikkan wakaf sebagai bagian dari upaya, terutama, mendekatkan diri ke haribaan Tuhan, yang diaktualkan dalam pemberian wakaf untuk tujuan-tujuan keagamaan. Dewasa ini di berbagai wilayah tanah air, terdapat banyak harta benda wakaf, dari buku-buku, al-Qur’an, gedung, tanah, pohon, lahan pekuburan, hingga wakaf tunai (yang mulai dipraktikkan). Sayangnya, berbagai harta benda wakaf tersebut, hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan untuk menopang kepentingan publik. Sebagian besarnya, terfokus untuk tujuan keagamaan, utamanya masjid.
            Terlepas dari pemanfaatan yang secara dominan berwatak ritual keagamaan, realitas itu sejatinya mengilustrasikan adanya potensi wakaf yang besar dan dapat didayagunakan untuk mengejawantahkan berbagai inisiatif dan tujuan-tujuan keadilan sosial. Dengan kata lain, banyak harta benda wakaf yang beredar di berbagai lokasi, baik di pedesaan maupun di perkotaan, dengan nilai aset yang cukup tinggi, tetapi potensi tersebut pada umumnya belum mampu menyejahterakan. Bahkan, dalam beberapa kasus, banyak wakaf yang justru menjadi beban karena tidak terkelola dengan baik akibat minimnya biaya operasional dan tingginya ongkos pelayanan. Alih-alih berfungsi melayani kebutuhan sosial kemasyarakatan, kebanyakan wakaf hanya dapat bertahan hidup secara tertatih-tatih. Beberapa wakaf malah terlantar karena tak terurus, dan sebagiannya malah hanya memilih menerapkan strategi “menunda kekalahan”. Wakaf yang tetap dapat eksis pun hanya mampu berfungsi secara terbatas dalam memberi pelayanan keagamaan dan pendidikan. Bahkan, dari sedikit wakaf yang tumbuh pesat, lebih banyak disokong unsur-unsur komersialnya.
            Keterlibatan negara dalam mengelola wakaf pada umumnya dapat dipahami mengingat besarnya harta wakaf yang ada di berbagai negara Muslim. Di Turki (tahun 1924) misalnya, 75% dari tanah pertanian adalah tanah wakaf. Demikian pula di Aljazair (50%), Tunisia (33%), dan di Mesir (12,5%). Namun, besarnya jumlah wakaf bukanlah satu-satunya alasan untuk mengundang intervensi negara. Kebanyakan wakaf dikelola dengan manajemen yang buruk. Selain itu, penyalahgunaan wakaf oleh tangan-tangan para nazhir yang tidak kompeten menyebabkan wakaf gagal menopang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yang sehat. Berdasar realitas ini, di berbagai belahan dunia Muslim terdapat kecenderungan umum di mana kontrol negara terhadap wakaf semakin menguat.
            Gambaran di atas berbeda dengan konteks wakaf di tanah air, di mana dalam kurun waktu yang sangat panjang negara tidak menaruh banyak perhatian terhadap lembaga wakaf, yang aset dan potensinya sesungguhnya dapat menjadi salah satu elemen pemberdayaan dan kesejahteraan sosial. Karenanya, bagaimana potensi dimaksud dapat ditransformasikan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi modal sosial yang fungsional bagi perwujudan keadilan sosial, menjadi pertanyaan mendasar dalam kajian ini.
            Sehubungan dengan itu, ada berbagai asumsi yang coba diuji dalam studi ini. Pertama, pada umumnya masyarakat memahami wakaf sebagai persoalan ibadah an sich sehingga perkembangan wakaf masih berpusat pada kisaran pengembangan pelayanan keagamaan. Kedua, kapasitas manajerial dan profesionalisme nazhir masih rendah, yang tidak memungkinkan adanya inovasi-inovasi baru dalam pengembangan wakaf untuk peningkatan kesejahteraan sosial. Ketiga, peran pemerintah dalam pengembangan wakaf belum optimal dalam mendorong fungsi wakaf untuk memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial yang lebih luas.
            Berkenaan dengan poin ketiga, para ahli hukum Islam bersama-sama dengan pemerintah telah menata dunia wakaf, yang berujung pada penetapan UU Wakaf No. 41 tahun 2004.
            Hal lain yang terkait dengan studi ini adalah masih minimnya studi-studi tentang wakaf yang mampu menjelaskan realitas obyektif di masyarakat dalam skala nasional. Beberapa penelitian yang ada cukup mampu memetakan pola pengelolaan wakaf di beberapa daerah. Namun demikian, studi-studi tersebut belum memberikan gambaran yang memadai tentang wakaf pada skala nasional, dan juga belum menempatkan wakaf dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial yang dapat menjangkau pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat melalui penciptaan sistem dan struktur sosial yang adil.
            Wakaf, sebagaimana ditekankan di atas, memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah air. Wakaf dapat ditumbuhkembangkan menjadi pilar ekonomi masyarakat melalui berbagai usaha produktif yang dikelola secara modern. Singkatnya, hasil pengembangan usaha berbasis wakaf, selain dapat membantu pembiayaan karitas, juga berpeluang mengembangkan pembiayaan produktif dalam bentuk modal ekonomi dan juga membiayai berbagai upaya advokasi kebijakan untuk terwujudnya keadilan sosial.
            Berdasarkan paparan di atas, studi ini bertujuan untuk menguji sejauh mana potensi dan limitasi wakaf untuk mendukung dan mewujudkan berbagai prakarsa dan tujuan-tujuan keadilan sosial dalam masyarakat. Selain itu, studi ini bermaksud mengeksplorasi kapasitas kelembagaan wakaf yang ditinjau dari kemampuan manajerial dan profesionalitas nazhir. Studi ini karenanya tidak saja dimaksudkan sebagai sebuah kajian ilmiah, tetapi juga sebagai wujud I’tikad dan ikhtiar konseptual dan strategis untuk ikut mempengaruhi perumusan kebijakan publik tentang wakaf di tanah air.
            Sementara tema bahasan yang akan ditelaah dalam studi ini adalah seberapa besar perhatian nazhir dalam mengembangkan wakaf produktif dan wakaf pelayanan sosial sekaligus. Hal ini diharapkan dapat terbaca melalui persepsi mereka terhadap ide pembaruan fikih wakaf, keadilan sosial, dan praktik wakaf untuk keadilan sosial. Studi ini juga menjelaskan aspek manajemen wakaf dan pemanfaatannya, termasuk dalam hal transparansi dan akuntabilitas lembaga wakaf. Selain itu, studi ini juga mencoba mengungkapkan persoalan perundang-undangan dan kebijakan wakaf, baik dari segi konteks, substansi,dan urgensinya dalam upaya pengembangan kebijakan wakaf dan penguatan kapasitas lembaga wakaf di Indonesia.

WAKAF DAN KEADILAN SOSIAL
Wakaf dalam sejarah Islam, khususnya selama abad pertengahan, telah menjadi pilar penyangga bagi tegaknya institusi sosial-keagamaan masyarakat Muslim selama berabad-abad. Hal itu dilakukan melalui penyediaan dana dan sarana pendukung bagi kegiatan ritual keagamaan,pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Bahkan wakaf pada masa itu telah menjalankan fungsi yang sekarang telah diambil alih oleh negara yaitu penyediaan sarana umum. Melihat kenyataan itu, dapatlah diasumsikan bahwa wakaf pada masa itu telah menyokong beberapa inisiatif keadilan sosial, khususnya aktivitas penyediaan berbagai kebutuhan dasar masyarakat umum, seperti pendidikan dan kesehatan.
Idealnya, wakaf dapat dimanfaatkan untuk promosi prakarsa-prakarsa kemaslahatan dan keadilan sosial, bukan hanya untuk urusan keagamaan. Namun, di negeri ini kenyataan berbicara lain. Wakaf tampaknya belum memainkan peran yang kuat dalam mewujudkan keadilan sosial.

Diskursus Keadilan Sosial Dewasa Ini
            Keadilan selama ini sering dipahami sebagai konsep normatif yang menunjuk kepada keadilan individual atau maslahat pribadi. Keadilan acap dipahami dengan pendekatan proporsionalitas dan komparatif. Perspektif ini tentu cocok untuk aspirasi individual, namun tidak cukup memadai untuk menjelaskan persoalan keadilan ketika dikaitkan dengan aspirasi kolektif. Dengan kata lain, prinsip proporsionalitas dan komparatif interpersonal tidak cukup memadai untuk menjelaskan ide keadilan sosial.
            Dewasa ini konseptualisasi keadilan sosial sudah cukup banyak dilakukan oleh banyak pemikir dari berbagai aliran baik agama, budaya maupun politik. Konsep ini begitu beragam sehingga sukar menarik sebuah konsensus.

Perspektif Islam terhadap Keadilan Sosial
            Secara epistemologis, keadilan sosial dalam pandangan Islam jelas didasarkan pada atau paling tidak dibingkai oleh nilai-nilai Islam dalam al-Qur’an dan hadits Nabi.
            Keadilan sosial sebagaimana yang dipaparkan di atas semata-mata bersumber dari nilai-nilai yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat manusia. Sebagaimana wacana keadilan sosial umumnya, wacana yang sama dalam Islam pun tidaklah tunggal. Tidak ada satu teks yang dapat dijadikan rujukan satu-satunya yang dapat diklaim sebagai pandangan Islam mengenai keadilan sosial. Teks yang ada merupakan interpretasi pemikir Muslim terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi. Interpretasi tersebut bagaimanapun dipengaruhi oleh konteks sosial dan lingkungan politik serta budaya yang mengitari para pemikir tersebut.
            Istilah keadilan (‘adl, qist, ‘adala) dapat dijumpai di banyak literatur Islam klasik. Literatur tersebut banyak membahas persoalan keadilan dikaitkan dengan keadilan Tuhan, keadilan penguasa, keadilan hakim di pengadilan, serta keadilan para perawi hadits. Baru di abad modern konsep tentang keadilan mendapat perhatian para sarjana Muslim. Intelektual Muslim yang mulai menggunakan istilah keadilan sosial secara terang-terangan adalah Sayyid Qutub yang menulis bukunya dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam (al-’Adala al-Ijtima’iyya fi al-Islam).

Maslahat Utama dalam Pemikiran Islam
            Di masa klasik Islam, dapat dikatakan tidak ada seorang pun pemikir Muslim yang bicara tentang keadilan sosial secara komprehensif. Namun demikian, beberapa fuqaha berminat membahas prinsip-prinsip yang mendasari aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan sosial agar tercipta kehidupan yang baik. Dalam konteks abad pertengahan aturan ini dikenal dengan syari’ah yang tidak hanya mengatur hubungan Muslim dengan Tuhan (ibada), tetapi juga mengatur hubungan sesama manusia (mu’amala).
            Diantara para fuqaha klasik, seorang ahli hukum Mazhab Maliki, al-Shatibi, mencoba kritis terhadap pendekatan deduktif ini. Dia menganggap metode seperti itu sewenang-wenang, karena seorang ahli hukum dapat memilih suatu teks yang sesuai dengannya. Bagi al-Shatibi perlu penalaran induktif terhadap teks dan praktiknya.

Al-‘Adala al-Ijtima’iyya
Menurut Sayyid Qutub, Islam menekankan tiga asas bagi masyarakat yang adil. Pertama, masyarakat yang adil meniscayakan adanya kebebasan. Sekilas pandangan ini sama dengan konsep maslahat utamanya Rawls. Namun kalau ditilik lebih jauh, yang dimaksud dengan kebebasan adalah suatu kesadaran teologis yang berdasar pada prinsip tauhid. Yaitu kebebasan jiwa dari unsur syirik dan pengkultusan. kedua, asas persamaan. Yaitu konsekuensi logis dari terpenuhinya kebebasan jiwa seseorang dari syirik terhadap Allah. Islam mengajarkan nilai kesetaraan dan persamaan asasi manusia karena manusia berasal dari sumber yang satu. Persamaan derajat dalam Islam bersifat universal lepas dari pertimbangan latar belakang suku, ras, bahkan agama. Ketiga, jaminan kesejahteraan social. Asas ini dapat dikatakan lebih operasional dan mirip dengan konsep kompensasi untuk masyarakat tidak berdaya dan minoritas dalam pandangan Rawls. Namun yang dimaksud disini bersifat luas mencakup spiritual dan material dan melibatkan semua tingkatan dari individu, keluarga, dan masyarakat. Jaminan yang dimaksud adalah bahwa setiap individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin kebaikan lahir dan batin bagi dirinya dan bagi yang lain.
Yang menarik untuk dikemukakan disini, Qutub telah mengkaitkan antara cita-cita keadilan sosial tadi dengan filantropi Islam. Qutub menganggap zakat, infak dan sedekah, termasuk wakaf tentunya, merupakan sarana Islam dalam mewujudkan ideal tersebut dalam kehidupan sosial.

Wakaf untuk Kemaslahatan Publik
Dalam kerangka filantropi keadilan social (FKS), wakaf untuk kemaslahatan umum perlu dikembangkan. Wakaf untuk kemaslahatan dalam literatur fikih dikenal sebagai wakaf khairy yang memang bertujuan memberikan dampak kemaslahatan bagi publik. Dalam praktiknya, wakaf di Indonesia lebih menyentuh kepentingan peribadatan daripada memenuhi kesejahteraan masyarakat. Ada tiga hal mendasar bagi perwujudan filantropi keadilan sosial. Pertama, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat. Meliputi segala kebutuhan esensial manusia seperti makan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kedua, FKS mengupayakan peningkatan kesempatan yang setara bagi semua orang, terutama mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Ketiga, melakukan perubahan struktural mencakup perubahan sistem dan pranata sosial yang tidak adil dalam masyarakat.

Peran Institusi Wakaf untuk Pengembangan Civil Society
            dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan, wakaf memangggul tugas mengupayakan terwujudnya ruang publik untuk memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Ini berarti wakaf dapat mendukung organisasi atau asosiasi sebagai pengejawantahan dari civil society.  Bahkan lebih dari itu, jika memadai, lembaga waka sendiri bisa mengembangkan diri menjadi semacam civil society yang akan menjadi penyeimbang kekuatan negara dan pasar, dalam kondisi keduanya tidak mampu menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip menuju masyarakat yang adil.
            Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf untuk kemaslahatan umum sejalan dengan wakaf untuk keadilan sosial. Namun, dalam praktiknya hendaknya wakaf tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan semata, tetapi juga perlu perubahan sistemik mencakup pengembangan masyarakat, advokasi kebijakan dan perubahan pranata dan sistem yang tidak adil dalam masyarakat.

TRADISI WAKAF: SEJARAH, WACANA, DAN PERKEMBANGANNYA DI DUNIA ISLAM

Asal-Usul Wakaf dan Perkembangannya
            Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat. Kitab Suci al-Qur’an, meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, jelas mengajarkan pentingnya menyumbang untuk berbagai tujuan yang baik. Wakaf dalam bentuknya yang masih sederhana telah dipraktikkan oleh para sahabat berdasarkan petunjuk Nabi. Salah satu riwayat yang menjadi dasar praktik wakaf pada masa awal Islam adalah hadits Ibn ’Umar. Hadits ini mengisahkan bahwa ’Umar ibn al-Khattab, mendapatkan sebilah lahan di daerah subur Khaybar, dekat Makah. ’Umar yang hendak bersedekah dengan lahan ini menanyakan kepada Nabi perihal niatnya tersebut. Nabi bersabda, in shi’ta habasta aslaha wa tasaddaqta biha (Jika engkau bersedia, pertahankan tanahnya dan sdekahkan hasilnya). Mengikuti petunjuk dan saran Nabi tersebut ’Umar pun mempraktikkan wakaf.
Ungkapan Nabi tersebut pada gilirannya menjadi landasan doktrinal wakaf. Hadits ini sedikitnya memberikan lima prinsip umum yang membentuk kerangka konseptual dan praktis wakaf. Pertama, prinsip tersebut mencakup kedudukan wakaf sebagai sedekah sunnah yang berbeda dengan zakat. Kedua, kelanggengan aset wakaf, di mana harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan atau disumbangkan. Ketiga, keniscayaan aset wakaf untuk dikelola secara produktif. Keempat, keharusan menyedekahkan harta wakaf untuk berbagai tujuan yang baik. Kelima, diperbolehkannya pengelola wakaf mendapatkan bagian yang wajar dari hasil wakaf.

Wakaf yang Populer di Masa Awal Islam
            Pada awal Islam, yaitu sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi, kegiatan wakaf telah cukup terlihat nyata.perkembangan wakaf pada periode ini terkait erat dengan dinamika sosial ekonomi dan keagamaan masyarakat. Pada masa awal wakaf dimanfaatkan untuk menyantuni fakir miskin dan untuk menjamin keberlangsungan hidup karib kerabat dan keturunan wakif (waqf ahly).

Peranan Wakaf Produktif
            Kesinambungan manfaat wakaf dimungkinkan oleh berlakunya jenis wakaf produktif yang didirikan untuk menopang kegiatan keagamaan, santunan, pendidikan, dan sarana publik. Wakaf produktif biasanya berupa tanah pertanian atau perkebunan dan gedung-gedung komersial, dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagiannya disisihkan untuk mendanai pelayanan-pelayanan tadi.
            Wakaf produktif ini terus dipraktikkan di berbagai belahan dunia Islam dan mentradisi dalam kurun waktu yang lama. Di belahan barat Islam, di Spanyol, wakaf produktif yang terkenal adalah wakaf kuda dan tanah-tanah pertanian, di samping gedung-gedung pertokoan dan tempat pemandian umum, yang hasilnya biasanya diberikan untuk masjid, madrasah, makam, atau rumah sakit.

Institusionalisasi Wakaf: Administrasi dan Pengawasan
            Pelembagaan wakaf gencar dilakukan pada paruh kedua abad ke-8 M pada saat perumusan sistem hukum Islam dalam kerangka mazhab fikih mulai mapan. Di satu sisi, pelembagaan wakaf melibatkan formulasi tentang administrasi wakaf menurut prinsip-prinsip syari’ah. Di sisi lain, proses ini melibatkan praktik pengawasan yang dijalankan oleh negara. Perumusan administrasi wakaf dalam kerangka fikih dilakukan oleh para imam mazhab yang bekerja secara relatif otonom dari kekuasaan negara, sedangkan pengawasan administrasi wakaf dijalankan oleh hakim (qadi) yang merupakan bagian dari aparat pemerintah yang berkuasa. Pelembagaan wakaf dalam sejarah Islam berlangsung dinamis, namun tetap mempertahankan jati diri keislamannya. Mungkin hal ini yang menyebabkan wakaf dapat menjadi satu-satunya endowment keagamaan yang masih mempertahankan watak dan orientasi keagamaan meskipun perubahan zaman.

Pengawasan Administrasi wakaf: Peran Negara
            Pengawasan administrasi wakaf telah dimulai pada masa Umayyah (abad ke-7 dan paruh pertama abad ke-8). Fungsinya mengawasi distribusi hasil wakaf serta kemungkinan penyalahgunaan wakaf oleh nazhir. Sebelum akhir abad ke-10, administrasi wakaf tidak dilakukan secara terpusat, melainkan dikelola secara relarif independent oleh para nazhir di bawah pengawasan qadi setempat. Namun pada masa Khalifah al-Mu’izz (974 M) dari dinasti Fatimiyah, administrasi wakaf mulai dipusatkan dengan cara memindahkan dana wakaf dari Dewan Wakaf ke Bayt al-Mal (semacam kas negara), dan para penerima harus membuktikan klaimnya sebagai penerima. Pemusatan administrasi wakaf oleh negara menandai meningkatnya kontrol negara terhadap wakaf.

Wakaf dalam Wacana Fikih
            Untuk mengarahkan perkembangan wakaf menurut kerangka Islam, para fuqaha membangun sebuah kerangka hukum wakaf  yang diharapkan dapat membingkai perkembangan wakaf di masa-masa kemudian. Fikih wakaf menyediakan pandangan dan sejumlah aturan hukum mengenai bagaimana wakaf seharusnya dipraktikkan dalam kerangka syari’ah. Secara tematis, wacana fikih wakaf klasik meliputi tiga masalah penting. Pertama, masalah pendirian sebuah wakaf  yang mencakup formulasi hukum mengenai rukun dan syarat sahnya sebuah wakaf. Kedua, isu seputar status hukum dari sebuah wakaf, mencakup kepemilikan harta wakaf dan status wakaf apabila mengalami kerusakan. Ketiga, yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengenai administrasi wakaf itu sendiri.  

Pendirian Wakaf: Rukun dan Syarat
Dalam istilah fikih, wakaf secara umum diddefinisikan sebagai harta yang tahan lama, yang manfaatnya dapat digunakan tanpa harta itu rusak atau habis, dan yang lazim digunakan untuk kebaikan. Namun wakaf juga dapat diartikan sebagai tindakan menahan harta kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu selamanya dan membelanjakan hasilnya sebagai sedekah.
Dalam hal pendirian wakaf, para fuqaha melihat paling tidak terdapat empat unsur atau rukun bagi terlaksananya sebuah wakaf. Pertama, wakif (orang yang berwakaf), wakif mesti memiliki kapasitas umum untuk menjalankan transaksi. Karenanya ia haruslah dewasa, waras, merdeka (bukan hamba sahaya), tidak dalam keadaan bangkrut, dan sehat atau tidak dalam keadaan sakaratul maut. Dalam hal ini, seorang wakif tidak disyaratkan harus beragama Islam karena wakaf dari seorang non-Muslim yang dilindungi (zimmi) pun diperbolehkan. Kedua, harta yang diwakafkan (mauquf). Secara umum harta yang diwakafkan haruslah harta milik yang sah, bukan harat kekayaan negara seperti ikan di laut, barang tambang, dan kekayaan hutan. Syarat lain harta tersebut haruslah halal.
Di atas dikatakan bahwa harta wakaf tidak boleh habis atau mesti langgeng. Namun sebagian besar fuqaha membolehkan wakaf benda bergerak yang dapat usang setelah digunakan lama. Mazhab Hanafi meskipun membolehkan wakaf benda bergerak menetukan syarat yang cukup ketat. Benda bergerak tersebut harus melekat pada benda yang tidak melekat.
Diterimanya wakaf benda bergerak pada gilirannya membuka peluang pewacanaan wakaf uang atau wakaf tunai. Namun pembahasan wakaf uang dikalangan fuqaha baru terjadi pada abad ke-16 khususnya di wilayah yang penduduknya menganut Mazhab Hanafi, seperti di Turki. Dewasa ini wakaf uang mulai diperkenalkan kembali di negeri-negeri Muslim termasuk di Indonesia. Para fuqaha yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima pandangan yang membolehkan wakaf tunai.
Ketiga, penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih). Para fuqaha klasik sepakat bahwa penerima manfaat wakaf tidak hanya terbatas pada kaum muslim saja. Keempat, ikrar wakaf oleh wakif. Memang tidak ada aturan dalam fikih bahwa ikrar wakaf harus dicatat dalam dokumen wakaf (waqfiyyah) teatpi biasanya hal itu dipraktikkan.

Status Hukum Wakaf
            Semua mazhab fikih menganggap bahwa tindakan wakaf bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan. Karena tidak dapat dibatalkan maka konsekuensinya harta yang telah diwakafkan tidak lagi menjadi milik wakif. Pandangan ini disepakati semua mazhab kecuali Mazhab Maliki yang menganggap bahwa wakif masih memiliki harta tersebut meskipun tanpa kekuasaan atasnya.
            Karena prinsip kelanggengan, maka secara hukum wakaf mesti dipelihara agar tidak cepat rusak dan usang. Apabila harta wakaf mengalami kerusakan hebat yang diakibatkan oleh bencana alam, mazhab fikih berbeda pendapat dalam hal status wakaf. Mazhab Syafi’i cenderung menganggap wakaf masih sah selama ada sisa-sisa benda yang dapat dimanfaatkan dengan cara apapun.
            Al-Dimyathi yang menulis buku I’ana al-Talibin, yang populer di berbagai pesantren di Indonesia, membenarkan bahwa Imam Hanafi membolehkan penjualan berbagai benda wakaf dalam masjid yang hendak roboh dan hasilnya digunakan kembali untuk keperluan masjid. Ibn Taimiyah dan Muhammad Abu Zahrah berpandangan bahwa pergantian wakaf merupakan wahana mengabadikan benda wakaf. Menurut Ibn Taimiyah, prinsip “Nusus al-Wakif ka Nusus al-Shar’i” (pernyataan atau ikrar wakif seperti pernyataan syari’at) yang sering dijadikan dasar hukum seharusnya tidak dipahami secara harfiah. Karenanya yang terpenting adalah mempertahankan tujuan hakiki syari’ah wakaf, sehingga tidak menelantarkan harta wakaf. Berdasarkan argumen ini, larangan menukar atau menjual harta wakaf dari wakif boleh diabaikan.

Administrasi Wakaf
Dalam literatur fikih, pengelola wakaf disebut nazhir. Istilah ini mengandung arti penjaga, manajer, administrator, kepala atau direktur. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, fikih menetapkan syarat-syarat nazhir sebagai berikut: orang dewasa, berakal, amanah, serta adil. Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, bahkan, mensyaratkan nazhir harus memiliki sifat adil. Namun demikian, masalah fikih cenderung eksklusif dalam melihat agama dan gender nazhir. Kecuali Mazhab Hanafi, semua mazhab mensyaratkan nazhir harus Muslim dan laki-laki.
Sehubungan dengan tugas nazhir yang maha berat, nazhir berhak menerima gaji. Penggajiannya tentu saja berdasarkan penggajian yang umum dan sesuai dengan kepatutan moral dan sosial. Menurut Mazhab Maliki, sumber penggajian nazhir bukanlah dari hasil wakaf, tetapi dari kas negara. Sementara pihak yang menentukan jumlahnya adalah wakif atau pemerintah yang berwenang.

Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Wakaf
            Isu akuntabilitas dan transparansi wakaf tidak menjadi pembahasan pokok dalam wacana fikih klasik. Namun demikian, al-Quran dan Hadits Nabi memberikan beberapa dasar bagi akuntabilitas dan transparansi dalam praktik wakaf. QS. 4: 283, meskipun berbicara tentang hutang piutang, sesungguhnya dapat ditafsirkan sebagai menekankan pentingnya bukti tertulis dalam melaksanakan transaksi yang melibatkan uang. Terkait dengan transparansi, sebuah hadits riwayat turmudzi, Ahmad, dan ad-Darimi menjelaskan dosa adalah sesuatu yang membuat hati pelakunya merasa gundah dan ketika melakukannya takut dilihat orang. Jadi, berdasarkan hadits ini ciri perbuatan dosa adalah perbuatan yang takut dilakukan secara transparan. Sementara perbuatan baik adalah perbuatan yang tidak takut dilakukan secara transparan.
            Menurut Fauzi Kamal Ahmad, keharusan audit sejalan dengan QS. 4: 58 yang menitahkan untuk ditegakkannya keadilan dan amanah. Sementara QS. 17: 13-14 menegaskan bahwa Tuhan akan memeriksa semua tindakan hambaNya di akhirat; dan QS. 3: 104 menganjurkan amr al-ma’ruf dan nahy al-munkar, karena pelaksanaan audit akan menyelamatkan nazhir dari godaan penyelewengan.

Wakaf di Dunia Islam: Pengalaman Turki, Mesir, Kuwait, dan Malaysia
Meskipun wakaf diakui telah memainkan peran imperatif dalam peradaban Islam, namun sejarah wakaf yang sukses sering pula diwarnai oleh berbagai kisah kehancuran. Karenanya, disini penting mendeskripsikan secara selintas tentang praktik wakaf di dunia Islam, seperti Turki, Mesir, Kuwait, dan Malaysia, sebagai bahan komparasi dengan praktik wakaf di tanah air.

Pengalaman Wakaf di Turki
            Berdasarkan tahun berdirinya, wakaf di Turki dibedakan menjadi tiga jenis: pertama, wakaf peninggalan zaman Saljuk dan Turki Utsmani, kedua, wakaf mazbutah: dikelola oleh Dirjen wakaf dan ketiga, wakaf mulhaqah: dikelola oleh Mutawwali (nazhir) dan disupervisi oleh Dirjen Wakaf. Dalam praktiknya, Dirjen Wakaf memilliki kewenangan untuk mengelola wakaf Mazbutah, dan juga mengawasi wakaf Mulhaqah. Selain itu, Dirjen Wakaf bertugas mengawasi berbagai wakaf baru.
            Selama periode pemerintahan Republik, dengan mengadopsi hukum sipil (hukum no. 903), wakaf telah memperoleh identitas baru. Berdasarkan hukum tersebut, pemerintah Republik Turki membentuk Vakiflar Genel Mudurlugu (Direktorat Jenderal Wakaf) yang bertugas menjalankan semua tugas kementerian wakaf yang dahulu berlaku pada era Kesultanan Turki Utsmani. Pemerintah Republik Turki telah menetapkan berbagai regulasi wakaf berdasarkan hukum sipil Turki: Wakaf harus mempunyai dewan manajemen (pasal 77 Hukum Sipil di Turki); Dirjen Wakaf melakukan supervisi (pasal 78); Harus diaudit minimal 2 tahun; Dirjen Wakaf berhak memperoleh 5% dari net income wakaf sebagai supervisi dan audit gratis. Namun, tidak boleh melebihi 1 juta lira Turki; Dirjen ditunjuk oleh Perdana Menteri dan berada di bawah kantor Perdana Menteri.
            Corak wakaf di Turki setidaknya mencakup tiga aspek utama, yakni ibadah (masjid-masjid), sosial kemasyarakatan (layanan kesehatan dan pendidikan), dan ekonomi-bisnis (pusat bisnis, aktivitas ekonomi, dan jasa). Fungsi layanan sosial wakaf, selain diperankan oleh keberadaan unit-unit pendidikan, asrama-asrama sekolah, dan perpustakaan, juga direpresentasi oleh keberadaan Imaret (sudah dikenal sejak Turki Utsmani). Imaret berfungsi menyediakan makanan untuk orang miskin, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk “mengobati” masalah-masalah sosial secara mendasar.

Pengalaman Wakaf di Mesir
            Di Mesir wakaf telah memainkan peranan yang penting sejak dahulu kala, terutama pada masa kekuasaan Mamluk (1250-1517). Pada era kejayaan Mamluk, wakaf telah berkembang pesat, yang tercermin dari pemanfaatan wakaf untuk menghidupi berbagai layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, penyediaan makanan dan air, dan juga penguburan mayat. Sejarah kesuksesan wakaf di era Mamluk tidaklah berlangsung selamanya. Dengan kata lain, wakaf di Mesir pernah juga mengalami masa kelam, hingga bertahtanya pemerintahan Muhammad Ali Pasha. Kala itu, sentralisasi sistem wakaf mulai diberlakukan dengan membentuk kementerian wakaf. Akibatnya, beberapa aset wakaf disita dari para nazhir yang dianggap melawan hukum yang berlaku. Semasa pendudukan Inggris, diberlakukan ketentuan yang membatasi kekuasaan nazhir, dengan keluarnya pengaturan administrasi wakaf (the Regulation of Waqf Administration) pada Juli tahun 1895, yang tetap berlaku dengan sedikit modifikasi hingga medio abad ke-20.
            Akan tetapi, konflik baru menyeruak ke permukaan antara Inggris dan Khedive yang berpangkal pada kementerian wakaf, setelah menyadari bahwa Inggris mencoba memanfaatkan kementerian wakaf sebagai wahana bagi formulasi kebijakan-kebijakannnya. Akhirnya kementerian wakaf dibubarkan pada tahun 1884, dan menggantinya dengan administrasi umum, yang bertanggung jawab secara langsung kepadanya.
            Selama masa pemerintahan Monarki Konstitusional (1923-1952), raja berusaha membela hak tradisional pemerintah kerajaan dalam pengaturan wakaf. Berdasarkan hal ini wakaf beralih tangan dan selanjutnya pengaturan wakaf berada di bawah kendali kerajaan sejak tahun 1945 hingga 1949.
            Sementara itu, telah terbit polemik yang tajam antara kaum modernis dan barisan penantangnya di Mesir, terutama mengenai wakaf ahly. Pada tahun 1936 dan 1937 upaya modernisasi berujung dengan terbitnya UU No.48 tahun 1946. Salah satu yang terpenting dalam UU tersebut adalah batasan wakaf ahly untuk jangka waktu 60 tahun, dan juga wakaf khairy dapat dimapankan secara permanen. Suatu pukulan yang berat terhadap wakaf ahly di Mesir berkenaan dengan rezim militer dan Reformasi Hukum Agraris (Agrarian Reform Law), yang menetapkan bahwa semua wakaf yang tidak bertujuan untuk kedermawanan dianggap tidak sah. Karenanya, penghancuran wakaf ahly diklaim berdasarkan prinsip syari’ah, dan juga prinsip sosialisme baru. Ironisnya lagi, UU No.547 tahun 1953 juga melucuti hak wakif untuk menunjuk secara khusus siapa yang pantas menjadi nazhir bagi wakafnya.
Oleh karena itu, UU baru tersebut menjadi obyek sasaran oposisi dengan alasan: Pertama, hukum itu tidak konstitusional, oleh karena konstitusi revolusioner sebelumnya justru telah menjamin hak-hak atas harta benda. Kedua, bertentangan dengan syari’ah.
            Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berusaha menertibkan tanah wakaf dan harta wakaf lainnya dengan menjaga, mengawasi, dan mengarahkan harta wakaf untuk kepentingan publik. Terlepas dari kelemahannya, hingga kini pemanfaatan wakaf telah memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian Mesir.

Pengalaman Wakaf di Kuwait: Peranan KAPF
            Praktik wakaf di Kuwait sudah setua eksistensi kebudayaan orang-orang Kuwait. Para sejarawan mencatat bahwa dokumentasi wakaf yang pertama di Kuwait adalah wakaf masjid Ibn Bahar pada tahun 1108 AH (1695 AD). Pada tahun 1921, departemen wakaf dibentuk oleh Pemerintah Kuwait. Pada tahun 1948, deprtemen ini ditugaskan mengelola tempat-tempat ibadah, dan juga merawat orang-orang yang lemah.
            Ketika Kuwait memproklamirkan kemerdekaannya, departemen wakaf dikonversikan menjadi Kementerian Wakaf yang diformalkan pada 17-11-1962. Sementara itu, pada tanggal 25-10-1965, Kementerian Wakaf itu dikembangkan sehingga mencakup “Urusan-Urusan Islam”. Karenanya nama kementerian ini berubah menjadi “Kementerian Wakaf dan Urusan-Urusan Islam”. Pada masa invasi Irak pada tahun 1990-an, beberapa lembaga wakaf mengambil langkah untuk memproteksi dokumen-dokumen wakafnya. Setelah Irak berhasil dipaksa keluar dari Kuwait, departemen wakaf direorganisasi dan diaktifkan lagi. Pada periode ini dikerahkan upaya restorasi peranan wakaf yang efektif dalam mewujudkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Upaya tersebut menghasilkan pembentukan Kuwait Awkaf Public Foundation (KAPF) pada November 1993, tiga tahun paska krisis teluk (Gulf crisis).

Potret Kuwait Awkaf Public Foundation (KAPF)
            Tugas utama KAPF adalah mendorong perkembangan wakaf berdasar pada syari’ah dan mempromosikan perbaikan ekonomi budaya dan sosial-kemasyarakatan, dan juga meringankan kaum miskin dari pelbagai kesulitan yang dialaminya.
Misi dan visi dari KAPF adalah mendirikan wakaf sesuai dengan prinsip syari’ah dan melaksanakan manajemen sumber daya wakaf dengan tujuan agar dapat merealisasikan tujuan syari’ah dan harapan wakif, guna mempromosikan masyarakat yang sesuai dengan tren kontemporer. Tujuan utama pembentukan KAPF adalah membumikan wakaf melalui cara-cara kreatif dan inovatif, dan juga menjaga keseimbangan antara warisan tua dan aspirasi baru dalam pembentukan wakaf baru. Selain itu, KAPF bertugas menempatkan wakaf dalam suatu administrasi yang efektif, dan juga membantu perkembangan institusi wakaf dengan penelitian-penelitin akademik.
Sehubungan dengan itu, KAPF telah mengeluarkan dokumen strategisnya pada bulan Ramadhan 1997. Beberapa tujuan strategis tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mendirikan wakaf sebagai satu model kedermawanan. Kedua, menjamin perkembangan sektor institusi wakaf. Ketiga, memenuhi tujuan-tujuan wakif dalam kerangka syari’ah. Keempat, menggunakan hasil-hasil wakaf untuk pembangunan dan kemakmuran masyarakat. Kelima, mengusahakan pembentukan wakaf baru. Keenam, mengelola dana-dana wakaf secara efektif.
Struktur lembaga wakaf di Kuwait diatur oleh satu dewan direktur yang terdiri dari sejumlah tokoh terkemuka yang dipilih oleh ketua badan kepengurusan wakaf. Masa kerja anggota dewan adalah dua tahun dan dapat dipilih kembali. Badan memilih seorang ketua dan wakil ketua dari anggota dewan yang ada. Dewan dibantu oleh seorang Direktur yang ditunjuk oleh KAPF.

Pengalaman Wakaf di Malaysia
            Malaysia terdiri dari tiga belas negara bagian. Setiap negara bagian dipimpin oleh seorang raja. Setiap negara bagian juga memiliki Departemen Agama Islam, yang bertugas mengelola urusan keagamaan, termasuk wakaf. Dalam hal ini, pemerintah pusat tidak berhak melakukan intervensi terhadap urusan wakaf disetiap negara bagian. Dengan kata lain, segala hal mengenai wakaf diatur secara independen oleh masing-masing pemerintah negara bagian.
            Seperti halnya wakaf di Indonesia, di Malaysia juga kebanyakan wakaf adalah berupa tanah. Kesamaan lain tradisi wakaf antara Indonesia dan Malaysia adalah sama-sama menganut fikih Syafi’i. dalam praktiknya, pada umumnya tanah wakaf hanya memberikan sedikit income, karena kebanyakannya tidak produktif. Hal yang cukup berkembang di Malaysia adalah tanah wakaf sering disewakan untuk waktu yang lama. Dari hasil penyewaan itulah mereka memperoleh keuntungan untuk mengembangkan wakafnya.

Kesimpulan
            Dari paparan di atas tergambar bahwa dengan derajat yang beragam, wakaf disetiap negara yang dibahas memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama dalam bidang layanan sosial-keagamaan, kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, peran penting wakaf tersebut terlihat pula dalam peranan negara untuk meregulasi wakaf yang acap member dukungan positif atau juga pukulan mematikan terhadap wakaf. Selain itu, terdapat kecenderungan umum di masing-masing negara untuk mengembangkan wakaf secara lebih produktif.

SELINTAS PERKEMBANGAN WAKAF DI INDONESIA

Sekilas Sejarah Wakaf
            Praktik wakaf ini diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di nusantara sejak akhir abad ke-12 M. perlu ditekankan di sini bahwa praktik-praktik yang menyerupai wakaf dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islma ke nusantara. Praktik ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa daerah; seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah perdikan; di Lombok dikenal tanah Pareman. Dalam tradisi masyarakat Baduy di Cibeo, Banten Selatan juga dikenal Huma Serang dan di Minangkabau ada pula tanah pusaka (tinggi). Sedangkan di Aceh dikenal tanah weukeuh, yaitu tanah pemberian sultan yang digunakan untuk kepentingan umum seperti bertani, berkebun, dan membangun sarana umum. Para sultan Aceh dikenal sangat mengutamakan pendidikan. Untuk mendukung kebutuuhan akan pendidikan tersebut maka didirikanlah masjid dan meunasah. Dalam struktur birokrasi kerajaan, masjid di Aceh memiliki tugas untuk mengelola dan mengurusi persoalan-persoalan keagamaan semisal pernikahan, shalat, zakat, wakaf, dan lain-lain.
            Wakaf untuk masjid maupun kegiatan dakwah seperti digambarkan pada periode awal munculnya di atas, juga terjadi pada masa-masa berikutnya, bahkan hingga sekarang. Dari gambaran perkembangan awal wakaf di atas, tampak jelas bahwa corak ‘keagamaan’ dari tradisi pemanfaatan wakaf di Indonesia berkaitan langsung dengan corak penyebaran dan perkembangan agama Islam di nusantara.
            Meskipun demikian, terdapat fakta bahwa wakaf dalam bentuk rumah tinggal pernah didirikan di luar negeri, tepatnya di Mekkah, oleh para sultan di nusantara. Ada cukup banyak rumah dan penginapan wakaf milik komunitas Jawah (nusantara) yang berfungsi untuk memfasilitasi para jamaah haji dari nnusantara. Di masa-masa ini sangat jarang ditemukan wakaf untuk tujuan-tujuan produktif. Hanya sebagian kecil saja Muslim yang menyerahkan beberapa petak sawahnya sebagai wakaf untuk mendanai berbagai kegiatan masjid atau madrasah. Institusi keagamaan seperti pesantren dalam pengembangan dan pengelolaannya perlu dana filantropi Islam selain hasil wakaf dari masyarakat.
            Menurut Zamakhsyari Dhofier, terdapat dua pandangan: Pertama, memandang harta sumbangan tersebut sebagai harta milik para kiai. Kedua, melihatnya sebagai harta wakaf.

Wakaf Berbasis Organisasi
            Dua organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah selama ini mengembangkan lembaga pendidikan dan sarana sosial lainnya dengan aset wakaf. Muhammadiyah tidak saja menggalakkan wakaf masjid dan sekolah, tetapi juga mempopulerkan wakaf rumah sakit, penerbitan buku, majalah, dan surat kabar. Kemajuan wakaf di Muhammadiyah terlihat dari beragamnya pelayanan sosial yang dimiliki Muhammadiyah. Pada tahun 1925 mempunyai 8 Hollands Indlandse School, sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar, sebuah schakeschool, 14 madrasah, dua buah klinik, sebuah rumah miskin, dan dua buah rumah yatim piatu.
            Selain Muhammadiyah, Persis juga mendirikan masjid dan sekolah, juga disertai dengan gerakan wakaf penerbitan majalah dan kitab-kitab. Sementara NU lebih banyak berkonsentrasi untuk mengembangkan wakaf pesantren. Sampai tahun 1978, jumlah lembaga-lembaga pesantren di Jawa dan Madura mencapai 3195 buah. Selain wakaf Muhammadiyah dan NU di atas, yang perlu disorot adalah wakaf perguruan tinggi. Salah satu wakaf pendidikan tinggi yang cukup berhasil dan dapat dijadikan model pengembangan wakaf adalah Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia yang terdapat di Yogyakarta. Salah satu faktor yang menginspirasi pendirian wakaf perguruan tinggi ini adalah kebesaran Universitas Al-Azhar Mesir.

Aspek Hukum dan Kebijakan Perwakafan di Indonesia
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf ataupun aspek filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam dan negara, serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam ’boleh’ berperan di ruang publik (public sphere). Asumsi-asumsi tersebut tidak berlaku permanen sebab ia berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan politik pada level nasional serta dinamika komunikasi politik antara umat Islam dan negara.
Dimasa penjajahan, politik pemerintah mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda, di mana Islam sebagai sistem nilai yang kaya akan dimensi sosial dengan berbagai preseden sejarah politiknya, dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktikkan dalam kerangka ritual-personal semata.rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial. Namun, mengingat aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan-hubungan antaranggota masyarakat, maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan hukum.
Formalisme ini tampak terus berlangsung hingga masa kemerdekaan, politik filantropi Islam tidak mengalami perubahan mendasar. Hal ini berlangsung lama hingga paroh kedua dasawarsa 1980-an, ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik, sebagaimana tercermin dari sikap negara yang semakin ’permisif’ terhadap berbagai tuntutan dan aspirasi politik Islam. Sejalan dengan itu, gelombang reformasi dan demokratisasi di penghujung milenium ke-2, ikut menentukan perubahan di atas dengan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di pentas nasional hingga dewasa ini.
Demikianlah ilustrasi mengenai konteks di mana wakaf dan zakat diakui dan dikukuhkan, melalui penerapan Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Zakat dan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Kedua produk undang-undang tersebut bertujuan untuk memberi pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset masyarakat. Ringkasnya, perkembangan filantropi Islam, termasuk zakat dan wakaf, banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan negara.

Negara, Regulasi Wakaf, dan Opsi Kesejahteraan Sosial
            Pemerintah, diwakili oleh Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan memfasilitasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam proses regulasi tersebut, Departemen Agama berperan memfasilitasi aspirasi umat yang muncul dari bawah. Setelah itu, mengkonseptualisasi aspirasi yang berkembang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama tim yang dibentuknya. Selain itu, Departemen Agama juga berperan mengawasi dan membimbing implementasi peraturan perwakafan dan seluruh kegiatan wakaf serta mengevaluasi peraturan perwakafan yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan kekinian, dan juga bertugas mengusulkan perubahan kebijakan bersama.
            Paradigma dan visi wakaf memperlihatkan perkembangan menarik. Ia mulai berevolusi dari concernnya yang cenderung terbatas pada bidang keagamaan, kini mulai memperhatikan kepentingan publik. Dari tujuan, fungsi, dan peruntukannya, UU ini dapat dibilang sebagai karya hukum yang lahir dari hasil interpretasi kreatif atas norma-norma fikih wakaf yang berlaku selama ini. Apabila berbagai perubahan di atas dapat dioptimalkan dengan baik, maka kebijakan wakaf ke depan dapat dikembangkan agar mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab sosialnya secara lebih baik.

Selintas tentang Regulasi Wakaf
            Dari berbagai laporan sejarah mengenai hukum wakaf, diketahui bahwa legislasi perwakafan pada masa kolonial mulai diterapkan pada tahun 1905 yang kemudian direvisi beberapa kali pada tahun 1931, 1934, dan 1935. Di masa kemerdekaan, aspek legislasi wakaf mengalami perkembangan cukup penting, yang dapat digambarkan dalam beberapa fase sebagaimana berikut:
            Pertama, dikeluarkanya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di mana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Dalam Pasal 49 ayat 3 dikatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini meningkatkan penertiban sertifikasi tanah atas tanah wakaf yang telah diikrarkan, yang biasanya dipandang sah cukup hanya dengan ikrar lisan.
Kedua, terbitnya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. Pembaharuan lain yang terjadi setelah terbitnya peraturan ini juga mencakup aspek teknis perwakafan lainnya. Sejak peraturan ini lahir, beberapa pengelola wakaf mulai bersikap selektif terhadap harta wakaf yang diserahkan kepada mereka dengan menimbang-nimbang asas manfaat dari wakaf yang akan diserahkan.
PP No.28 Tahun 1977 juga menetapkan syarat-syarat sebagai nazhir yang jika dicermati tidak cukup memadai untuk mendukung pengelolaan nazhir secara profesional. Persyaratan yang dimaksud antara lain adalah warga negara RI, beragama Islam, dewasa, sehat jasmani dan rohani, tinggal di kecamatan di mana harta wakaf itu berada. Ini berbeda dengan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 yang menetapkan syarat-syarat yang lebih kualitatif seperti amanah, berpendidikan minimal SMU atau sederajat, memiliki pengetahuan mengenai wakaf, serta tidak merangkap pekerjaan yang dapat merugikan pengelolaan harta wakaf.
Ketiga adalah terbitnya Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip pembaharuan yang terdapat pada PP No.28 Tahun 1977.
            Perkembangan terakhir adalah dengan disahkannya Undang-Undang Wakaf No.41 Tahun 2004. Dengan undang-undang ini, sektor wakaf diharapkan mampu berfungsi sedemikian rupa sehingga mendukung kesejahteraan sosial-ekonomi umat Islam.

PRAKTIK WAKAF UNTUK KEADILAN SOSIAL
            Bagian ini akan memaparkan hasil temuan survei terkait praktik wakaf untuk keadilan sosial di Indonesia. Beberapa persoalan yang hendak dibahas adalah potret umum nazhir, persepsi mereka terhadap persoalan keadilan sosial dan wakaf, termasuk persoalan fikih wakaf. Hal lain yang menjadi bahasan adalah praktik para nazhir dalam mengelola lembaga wakaf dan memanfaatkan hasil wakaf. Persoalan perundang-undangan juga akan dikaji dari perspektif para pengelola lembaga wakaf ini.

Potret Umum Nazhir Wakaf
            Nazhir adalah pengelola lembaga wakaf yang dapat berbentuk pengelola perseorangan, organisasi dan badan hukum. Nazhir diamanatkan untuk memanggul tanggung jawab sebagai pengelola wakaf, baik yang diterima dari wakif maupun yang ditunjuk oleh pemerintah. Nazhir adalah figur penting yang menentukan berkembang atau mengerdilnya eksistensi wakaf.
            Bagian ini akan membeberkan potret nazhir wakaf dengan melihat berbagai aspek profesionalisme nazhir, yang meliputi penunjukkan, alasan menjadi nazhir dan siapa yang menetapkannya; status kerja nazhir (apakah mereka bekerja penuh atau separuh waktu); dan gaji atau imbalan yang diterima nazhir.
            Mengenai profesionalisme nazhir, survei memperlihatkan bahwa hanya sedikit nazhir wakaf (16%) yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh. Sebaliknya, mayoritas nazhir wakaf (84%) mengakui tugasnya sebagai nazhir hanyalah pekerjaan sampingan. Survei menunjukkan hanya sebagian kecil nazhir (8%) yang mengaku mendapatkan imbalan. Sebagian besar (82%) menyebutkan gaji tersebut tidak cukup memenuhi biaya hidup mereka. Langkanya nazhir yang mendapat imbalan jika dianalisis lebih jauh disebabkan beberapa faktor. Pertama, mayoritas wakaf yang eksis di tanah air merupakan wakaf yang tidak produktif, sehingga lembaga wakaf tidak menjadi centers of production yang memungkinkan mereka mampu menggaji nazhirnya. Kedua, sebagian besar nazhir melaksanakan tugas kenazhiran sebagai bagian dari tanggung jawab sosial sekaligus berdimensi ibadah. Kuatnya sifat kesukarelaan dan dimensi ibadah dalam menjalani profesi nazhir, seperti disebutkan di atas sejalan dengan kenyataan sebagian besar nazhir merupakan tokoh agama setempat (83%).

Kelembagaan Wakaf: Antara Nazhir Perseorangan dan Nazhir Lembaga
            Berdasarkan UU Wakaf No.41 tahun 2004, nazhir wakaf dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, nazhir perseorangan, yaitu minimal terdiri dari 3 orang. Kedua, nazhir organisasi dan; Ketiga nazhir badan hukum, yaitu organisasi atau badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan. Hasil survei menunjukkan bahwa praktik pengelolaan wkaf pada umumnya dikelola oleh nazhir perseorangan (66%). Nazhir yang berstatus badan hukum mencapai 18% dan nazhir berbasis organisasi 16%. Namun demikian, mayoritas pengelola wakaf pada umumnya berpandangan nazhir berbasis lembaga lebih memiliki peluang bertumbuh-kembang daripada nazhir perseorangan. Sebagian besar nazhir (79%) berpandangan wakaf akan lebih maju dikelola oleh nazhir organisasi dibandingkan nazhir perseorangan (21%).

Persepsi Nazhir tentang Keadilan Sosial dan Wakaf

1. Persepsi Nazhir atas Fikih Wakaf
            Persepsi para pengelola lembaga wakaf terhadap perkembangan kontemporer fikih wakaf menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat persetujuan yang tinggi atas sebagian persoalan wakaf. Persepsi yang positif dari para nazhir terlihat pada tingginya antusiasme mereka atas pentingnya persoalan pembaruan fikih wakaf dan wakaf benda bergerak (seperti wakaf uang). Sementara berkaitan dengan persepsi atas peralihan harta wakaf dan perubahan peruntukannya, para nazhir cenderung menolak meskipun untuk tujuan pengembangan wakaf yang produktif.

Pembaruan Fikih Wakaf
            Data survei menunjukkan bahwa mayoritas nazhir wakaf (67%) mendukung adanya pembaruan fikih wakaf agar lebih berorientasi pada tercapainya kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Meskipun demikian, masih ada sebagian kecil (27%) yang tidak melihat pembaruan fikih wakaf tersebut sebagai sebuah solusi dari kemandegan pengelolaan wakaf.
            Temuan di atas juga didukung oleh pandangan sejumlah besar (62%) nazhir yang setuju jika ahli agama (ahli fikih wakaf) hendaknya mempromosikan pemahaman fikih wakaf yang lebih modern daripada fikih wakaf yang tradisional (38%) dalam mengembangkan pengelolaan wakaf. Mayoritas setuju jika harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada tanah, sebagaimana yang selama ini dikenal dan paling banyak dipraktikkan di Indonesia, tapi meliputi benda-benda bergerak seperti uang, mobil, perhiasan, dan buku.

Penukaran Harta Wakaf dan Peruntukannya
            Dalam literatur fikih, dijelaskan bahwa harta wakaf yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dapat dijual dan diganti dengan benda lain yang lebih produktif. Data survei memperlihatkan bahwa separuh pengelola wakaf (53%) tidak setuju dengan peralihan harta wakaf dengan harta lain yang lebih produktif. Meskipun demikian, tingkat penolakan terhadap penukaran harta wakaf dengan harta lain yang lebih produktif lebih kecil dibanding penolakan terhadap perubahan peruntukkan wakaf.

2. Persepsi tentang Wakaf untuk Keadilan Sosial
            Wakaf untuk keadilan sosial merupakan upaya untuk mengarahkan wakaf agar dapat membantu menangani ketidakadilan sosial dalam masyarakat dengan melakukan perubahan sistem dan struktur yang tidak adil sehingga setiap orang mendapatkan hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan politik secara setara.
            Secara umum, data survei menunjukkan bahwa nazhir memiliki persepsi yang positif atas ide keadilan sosial termasuk kesetaraan gender dan isu non-Muslim. Mereka juga mendukung integrasi ibadah dengan kehidupan sosial. Demikian pula, mayoritas pengelola wakaf (71%) tidak setuju untuk mendahulukan kegiatan ibadah dengan kegiatan sosial seperti membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Kepedulian kepada sesama yang membutuhkan mendapat prioritas dikalangan para pegiat wakaf daripada kegiatan pribadi seperti menjalankan ibadah.

 Wakaf untuk Non-Muslim
            Para ahli hukum Islam dan mazhab yang banyak dianut umat Islam pada umumnya menyetujui pemanfaatan wakaf kepada non-Muslim. Dari sisi persepsi, isu non-Muslim banyak mendapat apresiasi yang positif dari nazhir. Data menunjukkan bahwa separuh (52%) nazhir setuju dengan wakaf non-Muslim dan selebihnya (48%) menyatakan tidak setuju.

Praktik Wakaf untuk Keadilan Sosial di Indonesia

Aset Wakaf dan Pemanfaatannya
            Aset wakaf merupakan harta benda wakaf yang dimiliki para nazhir. Aset wakaf terdiri dari tanah, bangunan, uang tunai, kendaraan, dan harta benda lainnya. Adapun pemanfaatan harta benda wakaf terkait dengan peruntukan yang secara umum terbagi dua, yaitu pemanfaatan untuk pelayanan sosial dan produktif.

a. Aset Wakaf
            aset wakaf yang dikelola oleh para nazhir hampir seluruhnya dalam bentuk harta tak bergerak yaitu tanah (99%) dengan luas rata-rata 500 M² (0,5 ha). Bangunan adalah aset wakaf terbesar kedua setelah tanah yang dimiliki oleh 85% pengelola wakaf.

b. Pemanfaatan Wakaf: Pelayanan dan Kegiatan Produktif
            harta wakaf secara umum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah dan kepentingan masyarakat umum guna mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial.

wakaf untuk Sarana Keagamaan dan Pendidikan
            berkaitan dengan wakaf pelayanan, wakaf untuk sarana keagamaan dan pendidikan merupakan yang paling dominan dibanding untuk sarana sosial lain. Berdasarkan temuan survei, mayoritas tanah wakaf digunakan untuk sarana ibadah dalam bentuk masjid (79%). Pemanfaatan untuk sarana pendidikan menempati urutan kedua yang mencapai 55%. Sementara itu, tanah wakaf yang digunakan untuk sarana sosial lainnya seperti sarana kesehatan, panti asuhan, jalan, jembatan dan sebagainya masih sangat kecil.

Fungsi Sosial Wakaf Masih Lemah
            Data fungsi sosial wakaf menggambarkan bahwa pemanfaatan tanah wakaf untuk pelayanan sosial di luar keagamaan dan pendidikan masih sangat sedikit. Paling tidak ada dua alasan mengapa masyarakat jarang memberikan wakaf untuk pelayanan publik. Pertama, pemahaman masyarakat tentang peruntukan tanah wakaf dimaknai secara sempit selalu berhubungan dengan sesuatu yang berbau ibadah. Itu dianggap lebih baik dan berpahala dibandingkan memberikan wakaf untuk tujuan pelayanan lain. Kedua, dalam  konteks negara modern, penyediaan sarana umum dan fasilitas publik seperti sarana jalan, rumah sakit, jembatan, dan sebagainya bukan merupakan tanggung jawab masyarakat tapi menjadi tanggung jawab pemerintah karena masyarakat telah membayar pajak kepada negara. Berkaitan dengan pemanfaatan wakaf untuk tujuan keadilan sosial, lembaga wakaf baru memiliki kepedulian terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Wakaf untuk Kegiatan Produktif
            Pesatnya perkembangan wakaf produktif di berbagai belahan dunia Islam lain, belum nampak di Indonesia. Hanya sedikit tanah-tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan produktif karena sebagian besar asetnya tersedot untuk sarana keagamaan dan pendidikan. Data survei menunjukkan ada 23% lembaga wakaf yang menyatakan tanah wakaf mereka menghasilkan dalam arti memiliki wakaf produktif yang menunjang wakaf pelayanan.
            Dilihat dari kategori lembaga wakaf, nazhir yang berbadan hukum lebih menghasilkan (37%) daripada organisasi (29%) dan perseorangan (18%). Dilihat dari letak lembaga pengelola wakaf, mereka yang menggunakan tanahnya untuk persawahan lebih banyak yang ada di desa (24%) daripada di kota (12%).
            Ada beberapa kendala mengapa wakaf produktif sulit dikembangkan di Indonesia. Pertama, banyak lokasi tanah wakaf yang tidak strategis secara ekonomi. Kedua, berkaitan dengan kondisi tanah yang tidak subur sehingga sulit unutuk dijadikan tanah pertanian yang menghasilkan. Ketiga, kemampuan SDM pengelola wakaf masih sangat minim. Keempat, kendala berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang kebanyakan menganut pandangan yang melarang penjualan harta wakaf dan penukarannya dengan aset lain yang lebih produktif.

TATA KELOLA WAKAF: MANAJEMEN DAN PERUNDANG-UNDANGAN WAKAF

Manajemen Lembaga Wakaf
            Di tanah air, kenyataan menunjukkan bahwa wakaf masih dijalankan secara konsumtif dan tradisional, jauh dari manajemen modern, sehingga peranannya sebagai katalisator bagi problem sosial dan ekonomi umat tidak maksimal. Survei menunjukkan bahwa mayoritas pengelola lembaga wakaf telah mempraktikkan pencatatan administrasi, membuat kegiatan berdasarkan perencanaan, melakukan pengelolaan keuangan secara transparan, mengambil keputusan berdasarkan musyawarah organisasi, dan sebagainya. Sementara itu, berdasarkan jumlah pengurus dan staf, ditemukan bahwa jumlah pengurus dari nazhir organisasi dan badan hukum lebih besar daripada nazhir perseorangan.

Manajemen Pengembangan Wakaf Produktif
            Di Indonesia, wakaf produktif sangat kecil jumlahnya. Diperkirakan hanya 2 dari 10 lembaga wakaf yang menghasilkan. Survei menunjukkan nazhir yang mengaku harta wakafnya menghasilkan, lebih dari separuh (58%) menyatakan telah melakukan pengembangan wakaf.

Manajemen Sumber Dana dan Mekanisme Pengelolaan Keuangan
Hampir seluruh harta wakaf pada saat ini berasal dari wakif perseorangan (97%). Di samping itu, terdapat wakaf yang bersumber dari perusahaan (10%). Sementara itu, dana operasional lembaga wakaf sebagian besarnya berasal dari sumbangan individu dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah (70%).
            Tingginya sumber harta wakaf yang berasal dari perorangan, tampaknya berkorelasi positif dengan kenyataan bahwa wakif perorangan merupakan target yang sangat diutamakan oleh para nazhir. Namun, terdapat juga sebagian nazhir yang melakukan pendekatan kepada perusahaan dan perorangan sekaligus.
            Untuk meraih kepercayaan masyarakat, lembaga wakaf perlu melaksanakan transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola wakafnya. Berkaitan dengan aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga wakaf, sebagian besar nazhir (69%) mengaku memiliki mekanisme pengawasan keuangan dan pengawasan program. Dari jumlah tersebut, mayoritas (93%) melakukan pengawasan keuangan secara internal dan menjalankan pengawasan/evaluasi atas program kerja yang telah direncanakan (74%).

Aspek Hukum dan Kebijakan Wakaf
            Secara umum, penelitian mengenai aspek hukum dan kebijakan perwakafan menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf telah dilakukan berdasarkan seperangkat ketentuan hukum hingga tingkat undang-undang.

Formalisme dan Literalisme Hukum Wakaf
            Ketentuan hukum wakaf secara umum hanya mengatur wewenang dan prosedur perizinan dan pendaftaran tanah wakaf serta hal administrative terkait. Hamper seluruh tanah wakaf bersertifikat (97%). Literalisme kebijakan wakaf ini bertahan lebih dari setengah abad. Selama 59 tahun setelah Indonesia merdeka (1945-2003), paradigma kebijakan wakaf tidak mengalami kemajuan cukup berarti.

UU No. 41/2004 tentang Wakaf: Awal Perubahan
            Stagnasi ini secara cukup substansial mulai diatasi oleh Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. ketentuan ini mencoba merevitalisasi institusi wakaf dengan cara mempertajam definisi, fungsi, cakupan, inovasi institusi, mekanisme pengawasan, serta tata kelola perwakafan.

Persepsi Nazhir terhadap Kehadiran UU Wakaf
            Pada umumnya para nazhir menilai bahwa kehadiran UU ini dapat menjamin kepastian hukum wakaf. Namun demikian, secara politis, di antara mereka juga secara kritis menilai bahwa kehadiran UU ini tidak lebih sebagai salah satu instrument politik penguasa (31%).

Kebijakan yang Mendukung Akuntabilitas Wakaf
            Aspek akuntabilitas pengelolaan wakaf hendaknya menjadi salah satu prioritas dalam perumusan kebijakan yang lebih rinci mengenai pengelolaan wakaf ke depan. UU Wakaf mengantisipasi hal ini dengan cukup baik walaupun tidak memuaskan. Hanya sejumlah kecil nazhir yang menginginkan pemerintah melakukan pengawasan (8%), meski cukup besar nazhir yang menghendaki agar pemerintah berperan dalam memberi kepastian hukum pengelolaan wakaf (42%).

Sertifikasi Tanah Wakaf
            Survei menunjukkan bahwa sebagian besar tanah wakaf yang dikelola, baik di kota maupun di desa, sudah memperoleh sertifikat wakaf, baik secara keseluruhan (87%) maupun sebagian (13%). Alasannya, mereka belum menganggap sertifikasi tanah sebagai hal yang mendesak (27%), dank arena tanah wakaf statusnya masih dalam sengketa (3%).

Badan Wakaf Indonesia (BWI): Berkah atau Ancaman?
            Kreativitas lain dari UU Wakaf adalah inovasi kelembagaan dengan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia yang bersifat independen. Dengan tugas dan wewenang yang mencakup pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan sekaligus. Namun demikian, wewenang ini menimbulkan kekhawatiran bahwa BWI dapat terjebak dalam konflik kepentingan dan tidak fokus. Wewenang seperti itu memungkinkan BWI melaksanakan fungsi-fungsinya secara tidak distingsif.

KESIMPULAN
            Pentingnya mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan selaras menjadi kepedulian para pengelola lembaga wakaf di Indonesia. Lembaga wakaf, utamanya yang berbasis organisasi dan badan hukum, bias menjadi salah satu lembaga masyarakat sipil alternatif yang bergandengan tangan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
            Menurut hasil penelitian ini, aset nasional ekonomi wakaf sangat besar, mencapai 590 Triliun jika dilihat dari angka rata-rata aset lembaga wakaf dikalikan dengan jumlah lokasi wakaf (data Depag tahun 2003). Dengan aset sebesar ini, idealnya wakaf bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan masyarakat melalui berbagai kegiatan produktif yang dikembangkan.
            Membiayai berbagai upaya keadilan sosial melalui wakaf amat mungkin dilakukan, baik dalam level yang paling sederhana seperti memenuhi kebutuhan dasar maupun upaya lain seperti perbaikan kehidupan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi publik, dan pembuatan kebijakan yang memihak golongan lemah.
            Dengan realitas wakaf di Indonesia seperti digambarkan di atas, memang masih sulit mengharapkan peningkatan peran wakaf seperti di Mesir, Kuwait, dan Turki, yang memiliki tradisi wakaf yang kuat. Namun, ditilik dari potensi wakaf di tanah air, wakaf menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi aset produktif.
            Berdasarkan studi mengenai potensi dan permasalahan wakaf di Indonesia, beberapa hal berikut seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak dalam pengelolaan wakaf. Pertama, perhatian yang lebih besar bagi pemberdayaan wakaf yang belum produktif. Kedua, peningkatan SDM nazhir berkaitan dengan persoalan manajemen dan profesionalisme serta keahlian mengoptimalkan potensi ekonomi wakaf perlu menjadi prioritas. Ketiga, bersama-sama dengan lembaga nasional dan internasional penting memikirkan upaya pengembangan ekonomi wakaf dengan membuka jalur investasi pada wakaf yang strategis dan potensial. Keempat, hendaknya membangun kepercayaan publik dengan meningkatkan standar akuntabilitas dan transparansi lembaga wakaf. Kelima, pembuatan regulasi wakaf hendaknya didorong untuk mendukung pengembangan wakaf untuk tujuan keadilan sosial.

0 komentar:

Posting Komentar

Tanda Tangan